Sabtu, 18 Januari 2014

Standar Akuntansi Keuangan Di Negara Indonesia





Standar Akuntansi Keuangan (SAK) adalah suatu kerangka dalam prosedur pembuatan laporan keuangan agar terjadi keseragaman dalam penyajian laporan keuangan. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) merupakan hasil perumusan Komite Prinsipil Akuntansi Indonesia pada tahun 1994 menggantikan Prinsip Akuntansi Indonesia tahun 1984. SAK di Indonesia menrupakan terapan dari beberapa standard akuntansi yang ada seperti, IAS,IFRS,ETAP,GAAP. Selain itu ada juga PSAK syariah dan juga SAP.

Adanya perubahan lingkungan global yang semakin menyatukan hampir seluruh negara di dunia dalam komunitas tunggal, yang dijembatani perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin murah, menuntut adanya transparansi di segala bidang. Standar akuntansi keuangan yang berkualitas merupakan salah satu prasarana penting untuk mewujudkan transparasi tersebut. Standar akuntansi keuangan dapat diibaratkan sebagai sebuah cermin, di mana cermin yang baik akan mampu menggambarkan kondisi praktis bisnis yang sebenarnya. Oleh karena itu, pengembangan standar akuntansi keuangan yang baik, sangat relevan dan mutlak diperlukan pada masa sekarang ini.

Terkait hal tersebut, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai wadah profesi akuntansi di Indonesia selalu tanggap terhadap perkembangan yang terjadi, khususnya dalam hal-hal yang memengaruhi dunia usaha dan profesi akuntan. Hal ini dapat dilihat dari dinamika kegiatan pengembangan standar akuntansi sejak berdirinya IAI pada tahun 1957 hingga kini. Setidaknya, terdapat tiga tonggak sejarah dalam pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia. 
Tonggak sejarah pertama, menjelang diaktifkannya pasar modal di Indonesia pada tahun 1973. Pada masa itu merupakan pertama kalinya IAI melakukan kodifikasi prinsip dan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia dalam suatu buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI).” 
Kemudian, tonggak sejarah kedua terjadi pada tahun 1984. Pada masa itu, komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian mengkondifikasikannya dalam buku ”Prinsip Akuntansi Indonesia 1984” dengan tujuan untuk menyesuaikan ketentuan akuntansi dengan perkembangan dunia usaha. 
Berikutnya pada tahun 1994, IAI kembali melakukan revisi total terhadap PAI 1984 dan melakukan kodifikasi dalam buku ”Standar Akuntansi Keuangan (SAK) per 1 Oktober 1994.” Sejak tahun 1994, IAI juga telah memutuskan untuk melakukan harmonisasi dengan standar akuntansi internasional dalam pengembangan standarnya. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan dari harmonisasi ke adaptasi, kemudian menjadi adopsi dalam rangka konvergensi dengan International Financial Reporting Standards (IFRS). Program adopsi penuh dalam rangka mencapai konvergensi dengan IFRS direncanakan dapat terlaksana dalam beberapa tahun ke depan.

Dalam perkembangannya, standar akuntansi keuangan terus direvisi secara berkesinambungan, baik berupa berupa penyempurnaan maupun penambahan standar baru sejak tahun 1994. Proses revisi telah dilakukan enam kali, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1995, 1 Juni 1996, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1 Oktober 2004, dan 1 September 2007. Buku ”Standar Akuntansi Keuangan per 1 September 2007” ini di dalamnya sudah bertambah dibandingkan revisi sebelumnya yaitu tambahan KDPPLK Syariah, 6 PSAK baru, dan 5 PSAK revisi. Secara garis besar, sekarang ini terdapat 2 KDPPLK, 62 PSAK, dan 7 ISAK.

Untuk dapat menghasilkan standar akuntansi keuangan yang baik, maka badan penyusunnya terus dikembangkan dan disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Awalnya, cikal bakal badan penyusun standar akuntansi adalah Panitia Penghimpunan Bahan-bahan dan Struktur dari GAAP dan GAAS yang dibentuk pada tahun 1973. Pada tahun 1974 dibentuk Komite Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) yang bertugas menyusun dan mengembangkan standar akuntansi keuangan. Komite PAI telah bertugas selama empat periode kepengurusan IAI sejak tahun 1974 hingga 1994 dengan susunan personel yang terus diperbarui. Selanjutnya, pada periode kepengurusan IAI tahun 1994-1998 nama Komite PAI diubah menjadi Komite Standar Akuntansi Keuangan (Komite SAK).

Kemudian, pada Kongres VIII IAI tanggal 23-24 September 1998 di Jakarta, Komite SAK diubah kembali menjadi Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) dengan diberikan otonomi untuk menyusun dan mengesahkan PSAK dan ISAK. Selain itu, juga telah dibentuk Komite Akuntansi Syariah (KAS) dan Dewan Konsultatif Standar Akuntansi Keuangan (DKSAK). Komite Akuntansi Syariah (KAS) dibentuk tanggal 18 Oktober 2005 untuk menopang kelancaran kegiatan penyusunan PSAK yang terkait dengan perlakuan akuntansi transaksi syariah yang dilakukan oleh DSAK. Sedangkan DKSAK yang anggotanya terdiri atas profesi akuntan dan luar profesi akuntan, yang mewakili para pengguna, merupakan mitra DSAK dalam merumuskan arah dan pengembangan SAK di Indonesia.

Due Process Prosedur penyusunan SAK sebagai berikut : 
·                     Identifikasi issue untuk dikembangkan menjadi standar 
·                     Konsultasikan issue dengan DKSAK 
·                     Membentuk tim kecil dalam DSAK 
·                     Melakukan riset terbatas 
·                     Melakukan penulisan awal draft 
·                     Pembahasan dalam komite khusus pengembangan standar yang dibentuk DSAK 
·                     Pembahasan dalam DSAK 
·                     Penyampaian Exposure Draft kepada DKSAK untuk meminta pendapat dan pertimbangan dampak penerapan standar 
·                     Peluncuran draft sebagai Exposure Draft dan pendistribusiannya 
·                     Public hearing 
·                     Pembahasan tanggapan atas Exposure Draft dan masukan Public Hearing 
·                     Limited hearing 
·                     Persetujuan Exposure Draft PSAK menjadi PSAK 
·                     Pengecekan akhir 
·                     Sosialisasi standar 
Due Process Procedure penyusunan Interpretasi SAK, Panduan Implementasi SAK dan Buletin Teknis tidak wajib mengikuti keseluruhan tahapan due process yang di atur dalam ayat 1 diatas, misalnya proses public hearing. 

Due Process Procedure untuk pencabutan standar atau interpretasi standar yang sudah tidak relevan adalah sama dengan due process procedures penyusunan standar yang diatur dalam ayat 1 diatas tanpa perlu mengikuti tahapan due proses e, f, i, j, dan k sedangkan tahapan m dalam ayat 1 diatas diganti menjadi: Persetujuan pencabutan standar atau interpretasi.
Terdapat 3 (tiga) tonggak utama sejarah dalam pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia, yaitu :
1.                  Tahun 1973 à menjelang diaktifkannya pasar modal di Indonesia, dengan mengkodifikasi prinsip dan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia dalam buku “Prinsip Akuntansi Indonesia” (PAI)
2.                  Tahun 1984 à Komite PAI melakukan revisi secara mendasar atas PAI 1973 dan mengkodifikasikannya dalam buku “Prinsip Akuntansi Indonesia 1984”
3.                  Tahun 1994 à Komite PAI kembali melakukan revisi total terhadap PAI 1984 dan mengkodifikasikannya dalam buku “Standar Akuntansi Keuangan” berlaku per 1 Oktober 1994 
Sejak 1994, IAI memutuskan untuk melakukan harmonisasi dengan Standar Akuntansi Internasional (pengaruh globalisasi) Sejak 1994, IAI juga terus melakukan penyempurnaan standar yang ada serta penambahan standar baru dan interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK)
Sejak 1994 proses revisi SAK dilakukan sebanyak 5 (lima) kali sbb :
1.                  1 Oktober 1995
2.                  1 Juni 1996
3.                  1 Juni 1999
4.                  1 April 2002
5.                  1 Oktober 2004
Buku Standar Akuntansi Keuangan 1 Oktober 2004 yang juga memuat :
·                     Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Bank Syariah
·                     SAK 1 Oktober 2004
·                     59 PSAK beserta Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan yang melandasinya
·                     7 Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK)
Badan Penyusun Standar Akuntansi :
1.                  1973 : Panitia Penghimpun Bahan-bahan dan Struktur dari GAAP dan GAAS
2.                  1974 – 1994 : Komite Prinsip Akuntansi Indonesia (4 periode kepengurusan IAI)\1994 : Komite PAI diubah menjadi Komite Standar Akuntansi Keuangan (Komite SAK)
3.                  Pada Kongres ke 8 IAI tgl 23-24 Sept 1998 di Jakarta, Komite SAK diubah menjadi Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) yang diberi otonomi khusus utk menyusun dan mengesahkan PSAK dan ISAK
4.                  Sebagai pelaksanaan keputusan Kongres ke 8, juga dibentuk Dewan Konsultatif SAK yang anggotanya berasal dari lingkungan profesi akuntan dan non akuntan sebagai representasi users.
Kebijakan DSAK :
·                     Mendukung program harmonisasi dan konvergensi yang diprakarsai oleh International Accounting Standards Board (IASB) à menyelaraskan PSAK dengan International Financial Reporting Standards (IFRS)
·                     Dalam menyusun SAK, mengacu pada IFRS dengan mempertimbangkan pula faktor lingkungan usaha di Indonesia
·                     Pengembangan SAK yang belum diatur dalam IFRS dilakukan dengan berpedoman pada Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, kondisi lingkungan usaha di Indonesia., dan standar akuntansi yang berlaku di negara lain

Sumber :

Pengertian Pajak Dan Korupsi




Pajak adalah iyuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. Pengetian pajak menurut bebetapa ahli :
1.    Prof Dr Adriani
pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang oleh wajibpajak membayarnya menurut peraturan derngan tidak mendapat imbalan kembali yang dapat ditunjuk secara langsung.
2. Prof. DR. Rachmat Sumitro,SH
pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari kas rakyat ke sector pemerintah berdasarkan undang-undang), (dapat dipaksakan  dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen prestasi)yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum. Lima unsur pokok dalam defenisi pajak :
·       Iuran / pungutan
·       Pajak dipungut berdasarkan undang-undang
·       Pajak dapat dipaksakan
·       Tidak menerima kontra prestasi
·       Untuk membiayai pengeluaran umun pemerintah

a.    Dari sudut pandang masyarakat
Dari sudut pandang wajib pajak berarti melihat kenyataan bahwa masih ada sekelompoknmasyarakat yang kurang menyadari pentingnya pajak sebagai budgetair sehingga mereka menghindari kasus penggelapan pajak oleh pemerintah (korupsi) yang nantinta berimbas pada masyarakat bahawa mereka kurang mempercayai pemerintah.Oleh karena itu, perlu ada perbaikan di sektor mekanisme perpajakan agar lebih menguntungkan wajib pajak. Banyak keluhan dari masyarakat yang merasa kurang puas atas pengenaan pajak, kurang adil dan kurang mencerminkan ketentuan dalam Undang-Undang. Menurut mereka mekanisme pemungutan pajak yang dibuat Ditjen Pajak lebih menguntungkan petugasnya daripada wajib pajak.

Menurut observasi yang dilakuan Angga Pangestu (2010) dalam  factor-faktor yang mempengaruhi penghindaran pajak adalah sebagai berikut tidak percaya kepada pemerintah, kurang paham tentang mekanisme pembayaran pajak, memerlukan waktu yang lama untuk membayar pajak, dan yang terakhir kurang puas dengan kinerja institusi pajak. Hasilnya sebagai berikut Melihat hasil survey ini, kita bisa menyimpulkan bahwa kinerja di institusi perpajakan harus dibenahi termasuk dalam pengawasannya.

b.  Dari Sudut Pandang Pemerintah
Merican (1971) menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
a. Peninggalan pemerintahan kolonial.
b. Kemiskinan dan ketidaksamaan.
c. Gaji yang rendah.
d. Persepsi yang populer.
e. Pengaturan yang bertele-tele.
f. Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.

Di sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi yaitu :
a. Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b. Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c. Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.
d. Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi. korupsi, kecuali mengganggap telah berlebihan harta dan kekayaannya.
e. Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, mengapa orang harus mempersoalkan korupsi.

Akibat-akibat korupsi.
akibat-akibat korupsi adalah :
1. Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2.  ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3.  pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.

Upaya penanggulangan korupsi.
Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
a. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
b. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
c.  Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman.
e. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi.

Marmosudjono (Kompas, 1989) mengatakan bahwa dalam menanggulangi korupsi, perlu sanksi malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi karena menurutnya masuk penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi. Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :

a. Preventif.
1.  Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau miliknegara.
2. mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
4.  Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
5. Menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
6.  Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.

b.  Represif.
1. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.

Sumber :