Kamis, 27 November 2014

AUDIT FORENSIK

Definisi
Audit Forensik terdiri dari dua kata, yaitu audit dan forensik. Audit adalah tindakan untuk membandingkan kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara forensik adalah segala hal yang bisa diperdebatkan di muka hukum / pengadilan.
Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), forensic accounting / auditing merujuk kepada fraud examination. Dengan kata lain keduanya merupakan hal yang sama, yaitu:
“Forensic accounting is the application of accounting, auditing, and investigative skills to provide quantitative  financial information about matters before the courts.”
Menurut D. Larry Crumbley, editor-in-chief dari Journal of Forensic Accounting (JFA) “Akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk tujuan hukum. Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judicial atau administratif”.
Dengan demikian, audit forensik bisa didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan membandingkan antara kondisi di lapangan dengan kriteria, untuk menghasilkan informasi atau bukti kuantitatif yang bisa digunakan di muka pengadilan. Contoh bukti yang dapat dikumpulkan melalui audit forensic sautu kasus kejahatan keuangan adalah sebagai berikut:
1.      Aliran dana dari satu orang/ perusahaan/ lembaga ke orang yang bisa terlihat sebagai transfer bank biasa tanpa unsure niat jahat dan perbuatan melawan hukum.
2.      Pemberian uang tunai (rupiah atau valas) bisa Nampak sebagai transaksi pinjam meminjam biasa atau bantuan.
3.      Bukti percakapan telepon yang dikumpulkan melalui penyadapan dapat mengukuhkan keyakinan hakim bahwa aliran dana tersebut bukan semata-mata bantuan atau pinjaman kepada teman.
4.      Keterangan mengenai penghasilan yang belum dilaporkan dapat menjadi bukti tindak pidana perpajakan maupun korupsi. Auditor forensic melacak dari kekayaan, penghasilan yang dilaporkan pada dua periode berurutan (SPT) dan pengakuan pengeluaran (adanya pembayaran fiscal liar negeri, dsb)
Karena sifat dasar dari audit forensik yang berfungsi untuk memberikan bukti di muka pengadilan, maka fungsi utama dari audit forensik adalah untuk melakukan audit investigasi terhadap tindak kriminal dan untuk memberikan keterangan saksi ahli (litigation support) di pengadilan.
Audit Forensik dapat bersifat proaktif maupun reaktif. Proaktif artinya audit forensik digunakan untuk mendeteksi kemungkinan-kemungkinan risiko terjadinya fraud atau kecurangan. Sementara itu, reaktif artinya audit akan dilakukan ketika ada indikasi (bukti) awal terjadinya fraud. Audit tersebut akan menghasilkan “red flag” atau sinyal atas ketidakberesan. Dalam hal ini, audit forensik yang lebih mendalam dan investigatif akan dilakukan.
Perbandingan antara Audit Forensik dengan Audit Tradisional (Keuangan)
Audit Tradisional
Audit Forensik
Waktu
Berulang
Tidak berulang
Lingkup
Laporan Keuangan secara umum
Spesifik
Hasil
Opini
Membuktikan fraud (kecurangan)
Hubungan
Non-Adversarial
Adversarial (Perseteruan hukum)
Metodologi
Teknik Audit
Eksaminasi
Standar
Standar Audit
Standar Audit dan Hukum Positif
Praduga
Professional Scepticism
Bukti awal

Praktik ilmu audit forensic
·         Penilaian risiko fraud
Penilaian risiko terjadinya fraud atau kecurangan adalah penggunaan ilmu audit forensik yang paling luas. Dalam praktiknya, hal ini juga digunakan dalam perusahaan-perusahaan swasta untuk menyusun sistem pengendalian intern yang memadai. Dengan dinilainya risiko terjadinya fraud, maka perusahaan untuk selanjutnya bisa menyusun sistem yang bisa menutup celah-celah yang memungkinkan terjadinya fraud tersebut.
·         Deteksi dan investigasi fraud
Dalam hal ini, audit forensik digunakan untuk mendeteksi dan membuktikan adanya fraud dan mendeteksi pelakunya. Dengan demikian, pelaku bisa ditindak secara hukum yang berlaku. Jenis-jenis fraud yang biasanya ditangani adalah korupsi, pencucian uang, penghindaran pajak, illegal logging, dan sebagainya.
·         Deteksi kerugian keuangan
Audit forensik juga bisa digunakan untuk mendeteksi dan menghitung kerugian keuangan negara yang disebabkan tindakan fraud.
·         Kesaksian ahli (Litigation Support)
Seorang auditor forensik bisa menjadi saksi ahli di pengadilan. Auditor Forensik yang berperan sebagai saksi ahli bertugas memaparkan temuan-temuannya terkait kasus yang dihadapi. Tentunya hal ini dilakukan setelah auditor menganalisa kasus  dan data-data pendukung untuk bisa memberikan penjelasan di muka pengadilan.
·         Uji Tuntas (Due diligence)
Uji tuntas atau Due diligence adalah istilah yang digunakan untuk penyelidikan guna penilaian kinerja perusahaan atau seseorang , ataupun kinerja dari suatu kegiatan guna memenuhi standar baku yang ditetapkan. Uji tuntas ini biasanya digunakan untuk menilai kepatuhan terhadap hukum atau peraturan.
Gambaran Proses Audit Forensik
·         Identifikasi masalah
Dalam tahap ini, auditor melakukan pemahaman awal terhadap kasus yang hendak diungkap. Pemahaman awal ini berguna untuk mempertajam analisa dan spesifikasi ruang lingkup sehingga audit bisa dilakukan secara tepat sasaran.
·         Pembicaraan dengan klien
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pembahasan bersama klien terkait lingkup, kriteria, metodologi audit, limitasi, jangka waktu, dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk membangun kesepahaman antara auditor dan klien terhadap penugasan audit.
·         Pemeriksaan pendahuluan
Dalam tahap ini, auditor melakukan pengumpulan data awal dan menganalisanya. Hasil pemeriksaan pendahulusan bisa dituangkan menggunakan matriks 5W + 2H (who, what, where, when, why, how, and how much). Investigasi dilakukan apabila sudah terpenuhi minimal 4W + 1H (who, what, where, when, and how much). Intinya, dalam proses ini auditor akan menentukan apakah investigasi lebih lanjut diperlukan atau tidak.
·         Pengembangan rencana pemeriksaan
Dalam tahap ini, auditor akan menyusun dokumentasi kasus yang dihadapi, tujuan audit, prosedur pelaksanaan audit, serta tugas setiap individu dalam tim. Setelah diadministrasikan, maka akan dihasilkan konsep temuan. Konsep temuan ini kemudian akan dikomunikasikan bersama tim audit serta klien.
·         Pemeriksaan lanjutan
Dalam tahap ini, auditor akan melakukan pengumpulan bukti serta melakukan analisa atasnya. Dalam tahap ini lah audit sebenarnya dijalankan. Auditor akan menjalankan teknik-teknik auditnya guna mengidentifikasi secara meyakinkan adanya fraud dan pelaku fraud tersebut.
·         Penyusunan Laporan
Pada tahap akhir ini, auditor melakukan penyusunan laporan hasil audit forensik. Dalam laporan ini setidaknya ada 3 poin yang harus diungkapkan. Poin-poin tersebut antara lain adalah:
1.      Kondisi, yaitu kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan.
2.      Kriteria, yaitu standar yang menjadi patokan dalam pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu, jika kondisi tidak sesuai dengan kriteria maka hal tersebut disebut sebagai temuan.
3.      Simpulan, yaitu berisi kesimpulan atas audit yang telah dilakukan. Biasanya mencakup sebab fraud, kondisi fraud, serta penjelasan detail mengenai fraud tersebut.

Sumber:
http://itjen.deptan.go.id/index.php/beranda/44-artikel/479-auditforensikmembedahfrauddanligitasi
http://id.wikipedia.org/wiki/Akuntansi_forensik
http://www.slideshare.net/ikhavirginia/audit2-audit-forensik
http://panjikeris.wordpress.com/2012/04/24/audit-forensik/

(TUGAS 1) KODE ETIK IKATAN AKUNTAN INDONESIA

Pertanyaan :
  1. Jelaskan mengenai kode etik akuntan menurut IAI !
  2. Jelaskan mengenai jasa audit secara detail : prinsip dan aturan etika !

Jawab :
  1. Menurut IAI Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan public. Bekerja dilingkungan usaha, pada instansi pemerintah, maupun dilingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung jawab profesionalnya.
  2. Kode Etik Akuntan memuat 8 prinsip etika, antaranya :
·         Tanggung jawab profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai professional setiap anggota harus menggunakan pertimbangan moral dan professional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
·         Kepentingan public
Setiap anggota berkewajiban untuk bertindak dalam kerangka pelayanan kepada public, mongormati kepercayaan public, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
·         Integritas
Integritas merupakan kualitas yang mendasari kepercayaan public dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya.
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan public setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab proesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
·         Objektivitas
Prinsip objektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur, secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau berada dibawah pengaruh pihak lain.
Setiap anggota harus menjaga objektifitas dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban proesionalnnya.
·         Kompetensi dan kehati-hatian professional
Anggota seharusnya tidak menggambarkan dirinya memiliki keandalan atau pengalaman yang tidak mereka miliki. Kompetensi proesional dibagi menjadi 2 ase yang terpisah :
1.      Pencapaian kompeteensi professional
Pencapaian ini pada awalnya memerlukan standar pendidikan umum yang tinggi, diikuti oleh pendidikan khusus, pelatihan dan ujian professional dalam subjek-subjek yang relevan. Hal ini menjadi pola pengembangan yang normal untuk anggota.
2.      Pemeliharaan kompetensi professional
Kompetensi harus dijaga dan dipelihara melalui komitmen, pemeliharaan kompetensi professional memerlukan kesadaran untuk terus mengikuti perkembangan proesi akuntansi, serta anggotanya harus menerapkan suatu program yang dirancang untuk memastikan terdapatnya kendali mutu atas pelaksanaan jasa professional yang konsisten.
Sedangkan kehati-hatian professional mengharuskananggota untuk memenuhi tanggung jawab profesinya dengan kompetensi dan ketekunan.
·         Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa professional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan.
Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa sta di bawah pengawasannya dan orang-orang yang diminta nasihat dan bantuannya menghormati prinsip kerahasiaan.
·         Perilaku professional
Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawab kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staff, pemberi kerja dan masyarakat umum.
·         Standar teknis
Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah standar yang dikeluarkan oleh IAI, International Federation Of Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang relevan.

Sumber :
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30796/4/Chapter%20II.pdf
http://sunarnie.blogspot.com/2012/10/prinsip-etika-profesi-iai.html

Selasa, 28 Oktober 2014

UNION CARBIDE - BHOPAL DISASTER

Union Carbide – Bhopal Disaster

Summary :
     Since 1984, 20,000 people lost their lives in Bhopal, India after a chemical gas spill from a pesticide factory. More than 40 tons of methyl isocyante (MIC) gas created a dense cloud over a resident population of more than half a million people.
       People woke in their homes to fits of coughing, their lungs filling with fluid.  More than 8,000 people were killed in just the first few days following the leak, mainly from cardiac and respiratory arrest.
The chemical factory responsible for this disaster belonged to Union Carbide, which negotiated a settlement with the Indian Government in 1989 for $470 million - a total of only $370 to $533 per victim - a sum too small to pay for most medical bills. In 1987, a Bhopal District Court charged Union Carbide officials, including then CEO Warren Anderson, with culpable homicide, grievous assault and other serious offences. In 1992, a warrant was issued for Anderson's arrest.
But justice has eluded the people of Bhopal for more than 20 years. Dow, since its merger with Union Carbide, refuses to assume these liabilities in India - or clean up the toxic poisons left behind.

Questions :

      1.      What are the ethical issues raised by the case?
   - Anderson, who had been imprisoned briefly by the Indian government on charges of "negligence and criminal liability corporation", has been devoting all his attention to the problem of the proliferation of company announcements complete details negotations with government officials in India: they have rejected as inadequate approximately $ 200 million as compensation for the death of the $ 2,000 and injured 200,000 others, due in December 1984 by a poisonous methyl isocyanate gas leak from a Union Carbide pesticide plant located in Bhopal, India.
-  The Analysts expect the company will be forced into bankruptcy. Ironically, Garbide union factory in Bhopal have been losing money for several years and Anderson considered close it.

      2.      Did the legal doctrine of “limited liability” apply to protect the shareholders of Union Carbide (US)?
  Apply. But before this tragedy, a subsidiary of India has done poorly. In an attempt to contain an annual loss of $ 4 million from the plant manager is not profitable local company has intiated some cost-cutting program.

      3.      Were the Indian operations, which were being overseen by the managers of Union Carbide     Corporation (U.S) in compliance with legal or moral or ethical standards?

 Some other safety measures are not implemented and operating standards at the plant is not in accordance with the standards in the other Union Carbide plant. In addition, there is the possibility of safety measures are allowed as part of the "saving procedures" by the company at the factory. Thus the Union Carbide India was not running the operation according to the standard legal, moral and ethical because it does not perform the procedure well and has resulted in falling victim. They should pay more attention to procedures that do not harm others.


Kelompok :
                            1. Adinda Cecaria Mentari
                            2. Amrizal Bayasud
                            3. Nini Agustin Miranti
                            4. Ramadani Tri Permatasari
                            5. Siti Yuliani

Minggu, 22 Juni 2014

TUGAS MATERI SOFTSKILL BULAN KE-4

(Page138). Excercise 37
1.      Which
2.      Which
3.      Whom
4.      Whom
5.      That
6.      Whom
7.      Whose
8.      Who
9.      That
10.  Whose
11.  Whose
12.  Which
13.  Who
14.  That
15.  Whose

(Page 139). Exercise 38
1.                   George is the man. George was chosen to represent the committee at the convention.
2.                   All the money (the money was accepted) has already been released.
3.                   The papers (the papers are on the table) belong to Patricia.
4.                   The man was brought to the police station confessed to the crime.
5.                   The girl is drinking coffe. Mary Allen is the girl.
6.                   John’s wife, a professor, has written several papers on this subject.
7.                   The man is talking to the policeman. The man is my uncle.
8.                   The book (the book is on top shelf) is the one that I need.
9.                   The number of students (the number of students have been counted) is quite high.
10.               Leo Evans, a doctor, cats in the restaurant every day.


Relative Clauses (Article)
Relative clauses are clauses starting with the relative pronouns who*, that, which, whose, where, when. They are most often used to define or identify the noun that precedes them. Here are some examples:
·         Do you know the girl who started in grade 7 last week?
·         Can I have the pencil that I gave you this morning?
·         A notebook is a computer which can be carried around.
·         I won't eat in a restaurant whose cooks smoke.
·         I want to live in a place where there is lots to do.
·         Yesterday was a day when everything went wrong!
* There is a relative pronoun whom, which can be used as the object of the relative clause. For example: My science teacher is a person whom I like very much. To many people the word whom now sounds old-fashioned, and it is rarely used in spoken English.
Some relative clauses are not used to define or identify the preceding noun but to give extra information about it. Here are some examples:
·         My ESL teacher, who came to Germany in 1986, likes to ride his mountain bike.
·         The heavy rain, which was unusual for the time of year, destroyed most of the plants in my garden.
·         Einstein, who was born in Germany, is famous for his theory of relativity.
·         The boy, whose parents both work as teachers at the school, started a fire in the classroom.
·         My mother's company, which makes mobile phones, is moving soon from Frankfurt to London.
·         In the summer I'm going to visit Italy, where my brother lives.

There are two common occasions, particularly in spoken English, when the relative pronoun is omitted:
1. When the pronoun is the object of the relative clause. In the following sentences the pronoun that can be left out is enclosed in (brackets):
·         Do you know the girl (who/m) he's talking to?
·         Where's the pencil (which) I gave you yesterday?
·         I haven't read any of the books (that) I got for Christmas.
·         I didn't like that girl (that) you brought to the party.
·         Did you find the money (which) you lost?
2. When the relative clause contains a present or past participle and the auxiliary verb to be. In such cases both relative pronoun and auxiliary can be left out:
·         Who's that man (who is) standing by the gate?
·         The family (that is) living in the next house comes from Slovenia.
·         She was wearing a dress (which was) covered in blue flowers.
·         Most of the parents (who were) invited to the conference did not come.
·         Anyone (that is) caught writing on the walls will be expelled from school.


Sumber :